Dalam dunia teknologi modern, keberhasilan sebuah produk digital tidak hanya ditentukan oleh seberapa canggih kodenya, tetapi juga seberapa baik manusia dapat berinteraksi dengannya. Di sinilah cognitive ergonomics atau ergonomi kognitif memainkan peran penting. Cabang dari ilmu ergonomi ini berfokus pada bagaimana manusia berpikir, memproses informasi, mengingat, dan mengambil keputusan ketika berhadapan dengan sistem atau antarmuka digital. Bagi seorang UX engineer, pemahaman ini bukan sekadar tambahan, melainkan dasar utama untuk menciptakan desain yang efisien, intuitif, dan ramah pengguna.
Cognitive ergonomics merupakan bagian dari disiplin human factors engineering, yang berupaya menyesuaikan sistem kerja dan teknologi agar sesuai dengan kemampuan serta keterbatasan manusia. Dalam konteks desain antarmuka, prinsip ini membantu menghindari kelebihan beban kognitif, kebingungan, dan kesalahan pengguna yang sering muncul akibat desain yang tidak mempertimbangkan cara otak manusia bekerja. Dengan kata lain, ergonomi kognitif memastikan bahwa teknologi beradaptasi dengan manusia — bukan sebaliknya.
Seorang UX engineer yang memahami dasar teknik industri memiliki keunggulan dalam menerapkan prinsip ini secara sistematis. Teknik industri tidak hanya mempelajari efisiensi kerja, tetapi juga perilaku manusia dalam sistem yang kompleks. Pendekatan seperti Human–Machine Interaction (HMI) dan cognitive task analysis yang diajarkan dalam teknik industri memberi fondasi bagi UX engineer untuk memahami bagaimana pengguna berinteraksi dengan sistem dalam konteks waktu nyata, tekanan kerja, dan multitasking.
Misalnya, dalam perancangan dashboard sistem monitoring industri, seorang UX engineer harus memahami bahwa operator tidak hanya melihat tampilan visual, tetapi juga mengolah banyak informasi dalam waktu singkat. Desain antarmuka yang terlalu padat dapat menyebabkan cognitive overload, yaitu kondisi di mana beban informasi melebihi kapasitas pemrosesan otak. Pengetahuan teknik industri membantu UX engineer mengidentifikasi titik-titik kritis beban kerja dan merancang tata letak yang mengoptimalkan perhatian serta pengambilan keputusan.
Ergonomi kognitif juga berperan dalam struktur navigasi dan hierarki informasi. Pengguna cenderung mencari pola mental yang familiar (mental model) ketika menggunakan sistem. Oleh karena itu, prinsip seperti consistency, affordance, dan feedback menjadi sangat penting. Contohnya, tombol yang memiliki warna dan bentuk berbeda untuk tindakan kritis membantu otak mengenali konteks dengan cepat tanpa perlu berpikir panjang. Ini adalah penerapan langsung dari prinsip recognition over recall dalam ergonomi kognitif — otak manusia lebih mudah mengenali pola daripada mengingat informasi dari awal.
Dalam proses desain berbasis data, UX engineer dengan latar teknik industri juga memahami pengukuran kinerja manusia melalui metode seperti eye-tracking, think-aloud protocol, dan workload assessment techniques (seperti NASA-TLX). Pendekatan ini tidak hanya menilai keindahan visual antarmuka, tetapi juga mengevaluasi seberapa efisien pengguna dapat memproses informasi, bereaksi terhadap umpan balik, dan menyelesaikan tugas.
Integrasi antara cognitive ergonomics dan teknik industri kini menjadi landasan penting dalam pengembangan sistem berbasis AI dan otomasi. Dalam lingkungan kerja yang melibatkan sistem adaptif atau kolaboratif, manusia sering kali menjadi pengambil keputusan akhir ketika sistem gagal atau mengalami anomali. Oleh karena itu, desain antarmuka harus memperjelas konteks, menyediakan peringatan yang mudah dipahami, dan meminimalkan kesalahan akibat miskomunikasi antara manusia dan mesin.
Sebuah studi oleh Hancock dan Parasuraman (2020) menunjukkan bahwa penerapan ergonomi kognitif dalam desain antarmuka dapat meningkatkan efisiensi pengambilan keputusan hingga 30 persen dan menurunkan kesalahan operasional sebesar 25 persen. Hal ini membuktikan bahwa memahami bagaimana manusia berpikir sama pentingnya dengan memahami bagaimana sistem bekerja.
Selain itu, cognitive ergonomics juga mendukung aspek aksesibilitas dan inklusivitas dalam desain. Dengan memahami variasi kemampuan kognitif pengguna — seperti kecepatan persepsi, tingkat konsentrasi, atau preferensi pembelajaran — UX engineer dapat merancang pengalaman digital yang dapat diakses oleh semua kalangan, termasuk pengguna dengan disabilitas kognitif atau gangguan perhatian.
Masa depan desain antarmuka akan semakin mengandalkan kolaborasi antara disiplin UX engineering dan teknik industri. Jika UX engineer membawa empati terhadap pengguna, maka teknik industri memberikan metodologi untuk mengukur, mengoptimalkan, dan memvalidasi interaksi manusia–sistem. Keduanya bersama-sama memastikan bahwa teknologi yang diciptakan bukan hanya efisien dan fungsional, tetapi juga selaras dengan kapasitas kognitif manusia.
Cognitive ergonomics bukan sekadar teori, tetapi panduan praktis untuk menciptakan teknologi yang memahami manusia. Di era otomasi dan AI, UX engineer yang menguasai dasar teknik industri akan menjadi arsitek utama sistem interaksi cerdas — di mana manusia tetap berada di pusat pengambilan keputusan, dan teknologi menjadi mitra yang benar-benar membantu, bukan membebani.
Referensi
- Wickens, C. D., Hollands, J. G., Banbury, S., & Parasuraman, R. (2021). Engineering Psychology and Human Performance (5th ed.). Routledge.
- Hancock, P. A., & Parasuraman, R. (2020). Human–Machine Interaction and Cognitive Workload in Automation. Human Factors, 62(3), 425–433.
- Norman, D. A. (2013). The Design of Everyday Things (Revised and Expanded Edition). Basic Books.
- Sanders, M. S., & McCormick, E. J. (2020). Human Factors in Engineering and Design (8th ed.). McGraw-Hill Education.
- ISO 9241-210:2019. Ergonomics of Human–System Interaction – Human-Centered Design for Interactive Systems. International Organization for Standardization.