Industrial Engineering Telkom University Surabaya

Di tengah percepatan teknologi otomasi dan kecerdasan buatan (AI), peran manusia dalam sistem kerja tidak berkurang — melainkan berevolusi. Dunia industri kini memasuki fase baru yang disebut Human Factors 5.0, sebuah paradigma yang menempatkan manusia sebagai pusat dari sistem kerja berbasis teknologi. Fokusnya bukan hanya pada efisiensi mesin, tetapi pada adaptivitas, kesejahteraan, dan kolaborasi manusia dengan sistem cerdas. Konsep ini menjadi fondasi penting dalam perancangan sistem kerja modern yang aman, fleksibel, dan berkelanjutan.

Human Factors 5.0 berakar dari disiplin ergonomi dan psikologi industri, yang mempelajari bagaimana manusia berinteraksi dengan lingkungan kerja dan teknologi. Jika pada era Industri 4.0 fokus utama terletak pada otomatisasi dan digitalisasi, maka Industri 5.0 menekankan harmoni antara manusia dan mesin. Artinya, teknologi tidak lagi menggantikan manusia, tetapi bekerja bersamanya untuk meningkatkan kemampuan, keselamatan, dan pengalaman kerja.

Dalam konteks ini, desain sistem kerja adaptif tidak hanya mempertimbangkan efisiensi teknis, tetapi juga faktor kognitif dan emosional manusia. Mesin dan algoritma AI kini dapat menyesuaikan diri dengan kondisi pengguna — bukan sebaliknya. Contohnya dapat ditemukan pada sistem cobots (collaborative robots) di pabrik pintar yang mampu mendeteksi tingkat stres atau kelelahan operator dan menyesuaikan kecepatan kerja secara otomatis. Pendekatan ini mencerminkan filosofi Human Factors 5.0: manusia sebagai rekan kerja teknologi, bukan operator pasif.

Human Factors 5.0 menggabungkan tiga pilar utama: interaksi manusia-mesin (Human–Machine Interaction/HMI), adaptasi berbasis data (Data-Driven Adaptivity), dan desain berpusat pada manusia (Human-Centered Design).

  1. Interaksi manusia–mesin menekankan pentingnya antarmuka yang intuitif, responsif, dan mendukung pengambilan keputusan manusia. Teknologi seperti augmented reality (AR) dan voice-assisted AI kini digunakan untuk memberikan panduan kerja real-time di lini produksi tanpa mengganggu fokus pekerja.
  2. Adaptasi berbasis data memungkinkan sistem kerja belajar dari pola perilaku pengguna melalui sensor biometrik atau data performa. Sistem ini dapat memprediksi kelelahan operator, mengatur pencahayaan dan suhu ruang, hingga memberikan peringatan dini jika terjadi potensi kesalahan manusia.
  3. Desain berpusat pada manusia memastikan setiap sistem dan proses mempertimbangkan kebutuhan fisik, mental, dan sosial pengguna. Hal ini mencakup postur kerja ergonomis, distribusi beban tugas antara manusia dan mesin, serta pengelolaan beban kognitif agar pekerja tidak kewalahan oleh kompleksitas sistem digital.

Penerapan konsep Human Factors 5.0 kini mulai terlihat di berbagai sektor industri. Dalam manufaktur, sistem berbasis AI digunakan untuk menyesuaikan pengaturan mesin dengan kemampuan operator. Di sektor layanan kesehatan, AI dan robot asisten membantu dokter melakukan diagnosis tanpa mengurangi sentuhan manusiawi dalam interaksi pasien. Sedangkan di transportasi cerdas, sistem kemudi otonom didesain untuk bekerja adaptif — mengambil alih kendali ketika manusia lalai, tetapi tetap memungkinkan pengemudi untuk memutuskan dalam situasi kritis.

Salah satu penelitian penting oleh Badke-Schaub dan Hofinger (2022) menunjukkan bahwa sistem kerja adaptif yang menerapkan prinsip Human Factors 5.0 mampu meningkatkan efisiensi hingga 25 persen sekaligus mengurangi tingkat stres pekerja hingga 40 persen. Hasil ini menegaskan bahwa keseimbangan antara otomatisasi dan empati manusia menghasilkan lingkungan kerja yang lebih produktif dan sehat.

Dalam organisasi modern, implementasi Human Factors 5.0 juga berkaitan erat dengan etika dan tanggung jawab sosial dalam penerapan AI. Teknologi harus dirancang dengan memperhatikan transparansi algoritma, privasi data pekerja, dan keadilan dalam pengambilan keputusan otomatis. Prinsip ini sejalan dengan European Commission’s Human-Centric AI Guidelines (2021) yang menekankan pentingnya menjaga otonomi manusia dan kesejahteraan sosial di tengah transformasi digital.

Di masa depan, Human Factors 5.0 akan menjadi inti dari desain ekosistem kerja kolaboratif. Sistem yang memahami manusia, belajar dari interaksi, dan menyesuaikan diri secara dinamis akan menciptakan pengalaman kerja yang lebih manusiawi di tengah teknologi canggih. Dalam dunia yang didominasi mesin cerdas, keberhasilan organisasi tidak hanya ditentukan oleh kecepatan otomatisasi, tetapi juga oleh sejauh mana sistem yang dibangun mampu menghormati, memahami, dan memberdayakan manusia.


Referensi

  1. Badke-Schaub, P., & Hofinger, G. (2022). Human Factors 5.0: Designing Adaptive Sociotechnical Systems in the Age of AI. Springer.
  2. European Commission. (2021). Ethics Guidelines for Trustworthy AI: Human-Centric Approach to Artificial Intelligence. European Union Publications.
  3. Carayon, P., & Hancock, P. A. (2020). Human Factors and Ergonomics in the Age of Artificial Intelligence. Human Factors, 62(3), 425–431.
  4. Parasuraman, R., & Riley, V. (1997). Humans and Automation: Use, Misuse, Disuse, Abuse. Human Factors, 39(2), 230–253.
  5. McKinsey & Company. (2024). The Human Factor in Industrial Automation: Redesigning Work for the AI Era. McKinsey Global Institute Report.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Secret Link