Di tengah derasnya transformasi digital dan otomatisasi proses industri, satu kompetensi semakin bersinar dan menjadi tolok ukur utama kesiapan lulusan perguruan tinggi: kemampuan mengambil keputusan berbasis data. Data-driven decision making (DDDM) bukan lagi sekadar tren, melainkan landasan berpikir yang menentukan apakah seseorang akan menjadi pengambil keputusan yang relevan di masa depan atau tertinggal oleh zaman.

Berbeda dengan intuisi semata atau keputusan berdasarkan pengalaman sempit, DDDM mendorong seseorang untuk melihat fakta secara objektif, mengolahnya, dan menarik kesimpulan dengan justifikasi yang terukur. Dunia industri saat ini tidak lagi cukup puas dengan alasan “menurut saya”, tapi menuntut “berdasarkan data ini”. Dan itulah mengapa sarjana teknik industri, bisnis, hingga teknologi informasi kini dituntut untuk fasih dalam membaca dashboard, menganalisis tren, dan memahami implikasi statistik terhadap keputusan bisnis.

Kemampuan ini menjadi semakin krusial karena data kini menjadi aset utama organisasi. Menurut McKinsey Global Institute, perusahaan yang mengadopsi keputusan berbasis data secara sistematis dapat meningkatkan produktivitas hingga 6%. Bahkan studi dari MIT Sloan School of Management menunjukkan bahwa organisasi yang berbasis data memiliki kinerja 5% lebih tinggi dalam produktivitas dan 6% lebih tinggi dalam profitabilitas dibandingkan pesaingnya. Artinya, lulusan yang tidak memiliki kompetensi ini akan kesulitan bersaing di pasar kerja.

Salah satu contoh nyata adalah industri logistik modern, di mana sistem seperti demand forecasting, route optimization, dan inventory control semuanya ditenagai oleh algoritma data. Seorang analis supply chain di perusahaan e-commerce tidak lagi hanya bekerja berdasarkan pengalaman atau kebiasaan, tetapi harus bisa memetakan data penjualan historis, perilaku konsumen, hingga fluktuasi harga untuk menentukan strategi distribusi yang efisien. Tanpa pendekatan data-driven, keputusan logistik bisa berujung pada biaya tinggi dan ketidakefisienan.

Tidak hanya di sektor komersial, sektor publik pun mulai beralih pada pendekatan ini. Pemerintah kota di berbagai negara kini menggunakan analitik data untuk membuat kebijakan lalu lintas, pengelolaan limbah, hingga penanggulangan bencana. Laporan dari OECD menyatakan bahwa kebijakan publik yang dibangun di atas basis data yang kuat cenderung lebih akurat dalam menjawab kebutuhan masyarakat dan menghindari kesalahan kebijakan yang berbiaya mahal.

Namun menjadi data-driven bukan berarti semua lulusan harus menjadi data scientist. Yang dibutuhkan adalah literasi data—kemampuan memahami data, mengkritisi sumbernya, membaca visualisasi dengan tepat, dan menyusun argumen keputusan berdasarkan hasil analisis. Pendidikan tinggi hari ini ditantang untuk tidak hanya mengajarkan teori, tetapi juga menanamkan mindset pengambilan keputusan yang berbasis bukti, bahkan sejak tahun-tahun awal perkuliahan.

Dalam dunia yang bergerak cepat dan penuh ketidakpastian, keputusan yang tepat adalah mata uang utama keberhasilan. Dan semakin jelas bahwa mereka yang mampu menyaring informasi, memahami konteks, dan mengolah data menjadi wawasan strategis—merekalah yang akan memimpin perubahan. Data-driven decision making bukan hanya keahlian teknis, tapi cara berpikir yang membedakan pemimpin masa depan dari pengikut.


Referensi Ilmiah
  1. Brynjolfsson, E., Hitt, L. M., & Kim, H. H. (2011). Strength in numbers: How does data-driven decision making affect firm performance? SSRN.
  2. McKinsey Global Institute. (2016). The age of analytics: Competing in a data-driven world.
  3. Provost, F., & Fawcett, T. (2013). Data Science for Business. O’Reilly Media.
  4. OECD (2019). Data-Driven Public Sector: Enabling the Strategic Use of Data for Productive, Inclusive and Trustworthy Governance.
  5. Davenport, T. H., & Harris, J. G. (2007). Competing on Analytics: The New Science of Winning. Harvard Business Review Press.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *